Bentar lagi Natal, hari raya umat Kristen. Salah satu yang
khas dari perayaan Natal adalah topi Santa. Banyak umat Kristen memakai topi
saat Natal tiba. Pertanyaannya adalah apakah umat muslim juga boleh ikut
memakai topi Santa? Sejumlah muslim mengharamkannya karena dianggap sebagai
atribut ciri khas Kristen saat Natal. Memakainya sama saja dengan tasyabbuh (*menyerupai)
yang dilarang Nabi. Dalilnya adalah hadist yang sangat populer, “Sesiapa menyerupai suatu kaum, ia bagian
dari mereka.” Hadist itu memang ada, namun tepatkah penggunaannya sebagai
dalil pengharaman topi Santa?
Boleh nggak muslim pake topi Santa? |
Sebelum masuk ke situ, mari kita melihat analogi ini. Tentang
hari Minggu. Minggu menurut Kristen adalah Hari Tuhan. Libur Minggu tadinya adalah
memperingati Hari Kebangkitan Yesus. Dengan begitu, libur hari Minggu merupakan
ciri khas Kristen. Persoalannya, ratusan juta umat muslim di dunia saat ini kalo
Minggu libur. Lalu bagaimana hukumnya?
Kalo hadist Tasyabbuh dipahami secara leterlek (harfiah yang kaku), libur hari
Minggu itu haram bagi umat muslim karena menyerupai Kristen. Tapi pemahaman leterlek seperti itu sempit karena gagal
memahami pesan hadist tersebut dan abai terhadap sejarah dan konteks sosialnya.
Saat ini, muslim yang libur hari Minggu ya libur saja, nggak dikait-kaitkan
dengan asal usul hari Minggu yang Kristen banget. Secara permukaan, libur hari
Minggu itu menyerupai Kristen. Tapi muslim yang libur Minggu nggak lantas bisa
disebut tasyabbuh. Kenapa?
Muslim yang libur Minggu sama sekali nggak bertujuan
merayakan “Hari Kebangkitan Kristus”, tapi ya libur saja. kata kuncinya MOTIF
atau maksud. Libur Minggu saat ini sudah terlepas dari muatan Kristiani yang
jadi asal usulnya. Kalo muslim libur hari Minggu ya motifnya istirahat. Karena
motifnya istirahat atau liburan, muslim yang libur Minggu, meski pada
permukaannya adalah bertasyabbuh, sejatinya bukan bertasyabbuh terhadap
Kristen. Beda kalo ada orang Islam yang libur hari Minggu untuk memperingati
Kebangkitan Kristus. Itu baru tasyabbuh yang tidak boleh atau haram. Emang ada
muslim gitu?
Dalam soal tasyabbuh, faktor kunci yang harus dilihat
adalah motif atau maksudnya. Bahkan bukan hanya dalam soal tasyabbuh, tapi juga
tindakan lainnya. Dalam hukum Islam, ada kaidah dimana hukum segala sesuatu itu
berdasar maksud dan tujuannya. Nah, bagaimana dengan topi Santa?
Agar pemakaian hadist tasyabbuh tidak sempit, mari kita
pelajari sejarah dan konteks sosial topi Santa. Pertama, topi Santa itu sama
sekali tak terkait dengan akidah Kristen, tapi produk sejarah masyarakat
Kristen tertentu saja. Topi ini saat ini tak lebih dari sebuah aksesori yang
munculnya hanya pada saat Natal. Jadi, soal topi Santa, nggak cukup hanya
mengambil hadist tasyabbuh tanpa paham konteks historis dan maknanya.
Pertama, harus dilihat motif pemakainya. Kalo memakainya
tanpa tujuan tasyabbuh dengan Kristen dan tanpa mengimani Kristus, ya nggak
papa. Kedua, dalam menghukumi sesuatu, harus paham dulu substansi dari apa yang
dihukumi. Ini berlaku juga dalam soal topi Santa. Kalo mau menghukumi topi
Santa, jangan hanya bermodal dalil (apalagi dipahami harfiah). Kaji juga
sejarahnya, pelajari juga makna dari topi itu.
Tapi perlu dicatat! Bukan berarti umat muslim dianjurkan
untuk memakai topi Santa. Ini perlu ditegaskan secara eksplisit biar tidak
dipelintir seakan-akan tulisan ini mengajak untuk merayakan topi Santa. Jadi, jika
ada pihak yang memaksakan topi Santa, baik itu pemaksaan memakai atau tak
memakai topi Santa, hal itu perlu ditentang. Yang perlu ditegaskan di sini
adalah agar umat muslim tidak gampang parno terhadap hal-hal yang menyangkut
agama lain.
Ada kecenderungan saat ini ada kalangan muslim yang
tegang banget melihat yang lain, seakan-akan semua dianggap sebagai ancaman
terhadap akidah. Ini bukan hanya soal topi Santa, tapi juga, misalnya, soal
ucapan selamat Natal. Selamat Natal itu kan tata krama sosial. Artinya selamat
Anda (kaum Kristen) merayakan Natal, bukan saya menyetujui iman Kristen.
Ngucapin selamat Natal itu sukarela aja. Ngucapin boleh, nggak juga nggak papa.
Yang nggak boleh itu mengharamkan hal yang boleh.
Jadilah Muslim yang ramah dan nggak gampang parno |
Kecenderungan parno tersebut nggak bakal terjadi kalo muslim pede dengan
imannya. Iman yang pede tak menutup diri, tapi berdialog dengan yang lain.
Muslim dilarang meyakini akidah Kristen, tapi juga dilarang menghakimi, apalagi
merendahkan agama lain. Kalo ada muslim yang hobi menghakimi yang lain, itu
tidaklah islami, tapi kemlinthi hehe.
Sekian.
Dirangkum dari kultwit Akhmad Sahal @Sahal_AS, PCINU
Amerika Serikat.
sangat bermanfaat artikelnya
BalasHapus