Rabu, 16 Desember 2015

Boleh Nggak Muslim Pake Topi Santa?

Bentar lagi Natal, hari raya umat Kristen. Salah satu yang khas dari perayaan Natal adalah topi Santa. Banyak umat Kristen memakai topi saat Natal tiba. Pertanyaannya adalah apakah umat muslim juga boleh ikut memakai topi Santa? Sejumlah muslim mengharamkannya karena dianggap sebagai atribut ciri khas Kristen saat Natal. Memakainya sama saja dengan tasyabbuh (*menyerupai) yang dilarang Nabi. Dalilnya adalah hadist yang sangat populer, “Sesiapa menyerupai suatu kaum, ia bagian dari mereka.” Hadist itu memang ada, namun tepatkah penggunaannya sebagai dalil pengharaman topi Santa?

Muslimah
Boleh nggak muslim pake topi Santa?
Sebelum masuk ke situ, mari kita melihat analogi ini. Tentang hari Minggu. Minggu menurut Kristen adalah Hari Tuhan. Libur Minggu tadinya adalah memperingati Hari Kebangkitan Yesus. Dengan begitu, libur hari Minggu merupakan ciri khas Kristen. Persoalannya, ratusan juta umat muslim di dunia saat ini kalo Minggu libur. Lalu bagaimana hukumnya?

Kalo hadist Tasyabbuh dipahami secara leterlek (harfiah yang kaku), libur hari Minggu itu haram bagi umat muslim karena menyerupai Kristen. Tapi pemahaman leterlek seperti itu sempit karena gagal memahami pesan hadist tersebut dan abai terhadap sejarah dan konteks sosialnya. Saat ini, muslim yang libur hari Minggu ya libur saja, nggak dikait-kaitkan dengan asal usul hari Minggu yang Kristen banget. Secara permukaan, libur hari Minggu itu menyerupai Kristen. Tapi muslim yang libur Minggu nggak lantas bisa disebut tasyabbuh. Kenapa?

Muslim yang libur Minggu sama sekali nggak bertujuan merayakan “Hari Kebangkitan Kristus”, tapi ya libur saja. kata kuncinya MOTIF atau maksud. Libur Minggu saat ini sudah terlepas dari muatan Kristiani yang jadi asal usulnya. Kalo muslim libur hari Minggu ya motifnya istirahat. Karena motifnya istirahat atau liburan, muslim yang libur Minggu, meski pada permukaannya adalah bertasyabbuh, sejatinya bukan bertasyabbuh terhadap Kristen. Beda kalo ada orang Islam yang libur hari Minggu untuk memperingati Kebangkitan Kristus. Itu baru tasyabbuh yang tidak boleh atau haram. Emang ada muslim gitu?

Dalam soal tasyabbuh, faktor kunci yang harus dilihat adalah motif atau maksudnya. Bahkan bukan hanya dalam soal tasyabbuh, tapi juga tindakan lainnya. Dalam hukum Islam, ada kaidah dimana hukum segala sesuatu itu berdasar maksud dan tujuannya. Nah, bagaimana dengan topi Santa?

Agar pemakaian hadist tasyabbuh tidak sempit, mari kita pelajari sejarah dan konteks sosial topi Santa. Pertama, topi Santa itu sama sekali tak terkait dengan akidah Kristen, tapi produk sejarah masyarakat Kristen tertentu saja. Topi ini saat ini tak lebih dari sebuah aksesori yang munculnya hanya pada saat Natal. Jadi, soal topi Santa, nggak cukup hanya mengambil hadist tasyabbuh tanpa paham konteks historis dan maknanya.

Pertama, harus dilihat motif pemakainya. Kalo memakainya tanpa tujuan tasyabbuh dengan Kristen dan tanpa mengimani Kristus, ya nggak papa. Kedua, dalam menghukumi sesuatu, harus paham dulu substansi dari apa yang dihukumi. Ini berlaku juga dalam soal topi Santa. Kalo mau menghukumi topi Santa, jangan hanya bermodal dalil (apalagi dipahami harfiah). Kaji juga sejarahnya, pelajari juga makna dari topi itu.

Tapi perlu dicatat! Bukan berarti umat muslim dianjurkan untuk memakai topi Santa. Ini perlu ditegaskan secara eksplisit biar tidak dipelintir seakan-akan tulisan ini mengajak untuk merayakan topi Santa. Jadi, jika ada pihak yang memaksakan topi Santa, baik itu pemaksaan memakai atau tak memakai topi Santa, hal itu perlu ditentang. Yang perlu ditegaskan di sini adalah agar umat muslim tidak gampang parno terhadap hal-hal yang menyangkut agama lain.

Ada kecenderungan saat ini ada kalangan muslim yang tegang banget melihat yang lain, seakan-akan semua dianggap sebagai ancaman terhadap akidah. Ini bukan hanya soal topi Santa, tapi juga, misalnya, soal ucapan selamat Natal. Selamat Natal itu kan tata krama sosial. Artinya selamat Anda (kaum Kristen) merayakan Natal, bukan saya menyetujui iman Kristen. Ngucapin selamat Natal itu sukarela aja. Ngucapin boleh, nggak juga nggak papa. Yang nggak boleh itu mengharamkan hal yang boleh.

Pohon Natal
Jadilah Muslim yang ramah dan nggak gampang parno 
Kecenderungan parno tersebut  nggak bakal terjadi kalo muslim pede dengan imannya. Iman yang pede tak menutup diri, tapi berdialog dengan yang lain. Muslim dilarang meyakini akidah Kristen, tapi juga dilarang menghakimi, apalagi merendahkan agama lain. Kalo ada muslim yang hobi menghakimi yang lain, itu tidaklah islami, tapi kemlinthi hehe. Sekian.

Dirangkum dari kultwit Akhmad Sahal @Sahal_AS, PCINU Amerika Serikat.

1 komentar: