Sekolah sejatinya adalah tempat untuk belajar. Tempat para siswa belajar
mengenal sesuatu yang baru. Belajar melakukan hal-hal baru. Belajar memasuki
dunia baru. Sekolah adalah tempat bagi mereka menemukan inspirasi. Sesuatu yang
membuat mereka terinspirasi.
Sekolah adalah Tempat untuk Belajar |
Sekolah juga merupakan tempat untuk belajar. Bagi para guru. Sekolah adalah
tempat bagi mereka untuk belajar mengajar, belajar mendidik. Belajar menemukan cara
yang tepat untuk mengenalkan sesuatu yang baru pada siswa-siswanya. Belajar
bagaimana mengajari mereka melakukan hal-hal baru. Belajar mendampingi mereka
memasuki dunia baru. Sekolah adalah tempat bagi para guru untuk menjadi sosok
inspiratif. Agar siswa-siswanya terinspirasi. Karena guru memang sudah seharusnya
menjadi inspirasi bagi siswa-siswanya.
Guru adalah contoh di sekolah. Guru adalah teladan, role model di sekolah. Guru
yang baik akan menghasilkan siswa-siswa yang baik. Guru yang baik akan
menularkan kebaikan di sekolah. Namun sebaliknya, guru yang tidak baik, akan
menetaskan siswa-siswa yang tidak baik pula. Guru yang berkebiasaan tidak baik
akan membuat siswanya berkebiasaan tidak baik juga. Bahkan bisa jauh lebih
tidak baik. Karena sekali lagi, guru adalah contoh bagi siswa-siswanya. Seperti
pepatah kuno yang mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Sungguh miris ketika ada guru yang memiliki kebiasaan tidak baik dan
dilakukan di sekolah. Tempat yang seharusnya untuk belajar. Tempat yang
semestinya mereka gunakan untuk memberi contoh kebiasaan baik, bukan
sebaliknya. Lalu, apa akibatnya jika di sekolah ada sekelompok guru yang ngerumpi,
berghibah, atau semacamnya, satu kebiasaan tidak baik yang paling sering
dilakukan oleh oknum guru di sekolah? Jawabannya tengok lagi pepatah kuno di
atas.
Di kantor guru, di kantin, di perpustakaan, di UKS, atau bahkan di halaman
sekolah, tak jarang ada oknum guru yang dengan asyiknya ngerumpi, membicarakan
sesuatu yang sedikit manfaatnya. Bahkan mungkin tak ada manfaatnya sama sekali.
Seolah mereka tak berdosa melakukannya. Parahnya lagi, yang mereka rumpikan
adalah orang lain. Guru lain. Atau bahkan siswanya sendiri dirumpikan. Atau
mungkin keluarganya yang diseret-seret.
Maaf, bukan maksud bersikap rasis, tapi kenyataan yang sering saya temui,
kebiasaan ngerumpi di sekolah lebih sering dilakukan oleh oknum guru dari kaum
hawa, alias para Ibu guru. Di sini saya sebut oknum karena tidak semuanya
begitu. Bukan karena saya bukan kaum hawa, tapi memang begitulah adanya. Diakui
atau tidak.
Kaum adam memang kodratnya diam. Sesuai dengan huruf terakhir dari kata
adam. Huruf M. Mulut tertutup. Makanya, tak heran jika banyak Bapak Guru yang
sedikit bicara. Sebaliknya, huruf terakhir dari kata hawa adalah A. Huruf
vokal. Mulut terbuka. Maka wajar jika banyak Ibu guru yang vokal, banyak
membuka mulutnya. Mereka begitu bersemangat bersuara. Tidak hanya saat mengajar
atau saat rapat, tapi setiap saat ada kesempatan. Saat ada kesempatan berkumpul
dengan kaum segender. Sesama kaum hawa.
Banyak Bapak Guru yang sebenarnya merasa risih dengan kebiasaan ngerumpi
oknum Ibu guru tadi. Tapi tak pernah mereka ungkapkan. Karena mereka memang tak
pandai mengungkapkan perasaan. Bukannya mereka sok suci, tapi keterlaluan saja
jika ngerumpi dilakukan oleh sosok yang semestinya menjadi teladan yang
menginspirasi di sekolah. Sosok yang seharusnya menebar kebaikan di tempat yang
dinamakan sekolah.
Saat para Bapak Guru sudah tidak nyaman dengan bad habit oknum di atas, jangan ditanya jika mereka akhirnya lebih
memilih menghindar, pergi menyapa penjaga sekolah, ikut para siswa jajan di
kantin, atau mungkin diam saja di kantor. Asal tidak ikut hanyut dalam
keasyikan ngerumpi para Ibu Guru tadi.
Kebiasaan ngerumpi para guru cepat atau lambat, disadari atau tidak, akan
ditiru oleh siswa-siswanya. Maka, jangan salahkan mereka jika akhirnya mereka
juga punya kebiasaan yang sama. Jangan marahi mereka jika mendapati mereka
ngerumpi di sekolah. Jangan hukum mereka jika melihat mereka ngerumpi di kelas.
Jangan larang mereka jika mereka lebih memilih ngerumpi ketimbang baca buku. Karena
mereka mungkin saja sedang meniru kelakuan gurunya yang senang ngerumpi dan
tidak suka membaca.
Menjadi guru harus total. Ngerumpi untuk melepas penat setelah mengajar di
kelas bukan sebuah solusi cerdas. Guru yang baik seharusnya tidak pernah merasa
penat setelah mengajar. Masih banyak hal lain yang lebih bermanfaat yang bisa
dilakukan oleh seorang guru di luar kelas. Hal-hal yang bisa membuatnya berkembang.
Hal-hal yang bisa menjadi inspirasi bagi siswa-siswanya. Hal-hal yang
membuatnya layak disebut sebagai guru.
Daripada ngerumpi tidak jelas, lebih baik belajar. Sesuai dengan definisi
sekolah di atas. Tempat untuk belajar. Bukan untuk ngerumpi. Sudah menjadi guru
bukan berarti berhenti belajar. Guru yang baik adalah guru yang selalu merasa
belum menjadi guru yang baik. Guru yang baik adalah guru yang selalu berusaha
mengembangkan dirinya menjadi guru yang lebih baik dan lebih baik lagi. Guru
yang baik adalah guru yang selalu ingin memberikan contoh yang baik bagi siswa-siswanya.
Guru yang menjadi inspirasi bagi mereka.
Jika di suatu lingkungan sekolah, kebiasaan ngerumpi
para guru sudah menjalar, sebaiknya kepala sekolah sebagai orang yang paling
memegang kendali harus tegas mengambil sikap. Jangan sampai kebiasaan tidak
baik itu menular ke para siswa. Jauhkan mereka dari kebiasaan ngerumpi di
sekolah. Mereka adalah aset negara yang sangat berharga. Aset ini tidak boleh sampai
rusak hanya gara-gara oknum guru yang suka ngerumpi. Oknum yang seharusnya
menjadi suri tauladan. Oknum yang seharusnya menjadikan sekolah sebagai tempat
untuk belajar. (fila174)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar