Rabu, 22 Agustus 2012

Jadi Guru

"Gasik mas, kerjo nang ndi saiki"
"Aku ngajar mas"
"Wah wis sukses ya saiki"

Kira-kira begitulah sepenggal percakapan pagi itu di depan rumah. Waktu itu saya sedang manasin motor mau ke sekolah dan ada seorang tetangga saya yang datang ke rumah. Dia mau nemuin kakak saya buat beli cat tembok kayaknya.

Tetangga saya ini jarang saya temui. Mungkin karena saya yang kurang "srawung" sama orang-orang di desa saya. Makanya dia nanya sekarang saya kerja dimana. Kalo tidak salah dia adalah seorang petani. Di desa saya memang masih lumayan banyak yang menjadi petani. Waktu dia tau kalo saya ngajar, dia bilang saya sudah jadi orang sukses. Memang kata sukses itu bisa bermacam-macam definisinya. Menjadi seorang pengajar seperti saya bisa dikatakan sukses di mata seorang petani desa. Padahal di benak saya sendiri, mengajar apalagi yang masih honorer masih jauh dari kata sukses jika dilihat dari segi jumlah penghasilan. Kebanyakan dari kita mungkin mengkaitkan sukses dengan jumlah penghasilan. Memang ada juga yang lebih mengkaitkan dengan hal lain seperti kebahagiaan, manfaat untuk orang lain, dsb. Jika dikaitkan dengan manfaat untuk orang lain, mengajar adalah sebuah kesuksesan, tapi soal jumlah penghasilan, nanti dulu.

Jadi Guru Memang Berat
Menjadi seorang pengajar yang masih honorer apalagi di kota-kota kecil memang berat. Orang lain mungkin melihat saya setiap pagi berangkat dengan pakaian rapi, kadang pakai batik, dan beranggapan bahwa saya sudah sukses dan mapan. Dengan penghasilan yang saya dapat sebagai seorang guru honorer, saya akan berpikir dua kali untuk menikah. Boro-boro untuk nikah, untuk kebutuhan saya sehari-hari saja habis terus. Padahal saya juga kepingin nabung dan beli ini itu. Bahkan handphone yang saya pakai sejak tahun lalu itu adalah "warisan" adik saya. Maklum HP saya sebelumnya sudah rusak dan belum bisa beli yang baru.

Mungkin saya terlalu "cengeng" namun apa salah jika saya mengeluh menjadi seorang pengajar yang tiap pagi harus ke sekolah menempuh jarah 15 km, ribet bikin RPP, silabus, KKM, prosem, prota, dan sejenisnya, nyiapin materi, soal, ngrekap nilai, namun hanya dibayar tidak lebih dari setengahnya UMR kota tempat saya mengajar. Saya tidak menyalahkan sekolah yang menggaji saya karena saya tau anggaran yang sekolah punya memang terbatas. Saya hanya mempertanyakan kenapa seorang pengajar dihargai begitu rendah di negeri ini. Saya mungkin hanya satu dari ribuan atau ratusan ribu pengajar yang sudah susah payah mendapatkan gelar S.Pd. kemudian mengabdi mendidik anak-anak daerah dengan tanggung jawab mencerdaskan mereka semua, namun tidak mendapat imbalan yang sepantasnya.

Lalu apa salah jika saya berpikir untuk meninggalkan profesi mulia ini untuk mencari pekerjaan yang upahnya lebih besar. Apa ini namanya saya lari dari tanggung jawab saya sebagai pengajar. Sebelum saya mengajar, saya sempat menjadi seorang freelancer dengan upah hampir sepuluh kali lipat dari apa yang saya dapat dari mengajar sekarang. Namun karena saya merasa saya bertanggung jawab atas ijazah S.Pd saya, saya putuskan untuk memulai karir saya sebagai pengajar dan semoga saya menemukan lebih banyak pencerahan untuk terus bertahan. (fila174)

1 komentar: