Salah satu modul yang dipelajari di Pendidikan Guru Penggerak adalah tentang budaya positif di sekolah. Di modul ini, ada banyak hal baru dan sungguh menarik perhatian saya sebagai guru, utamanya dalam hal bagaimana mendisiplinkan anak. Selama ini banyak guru mengira bahwa kata disiplin itu berkaitan dengan aturan, tata tertib, hukuman, dan semacamnya. Ternyata tidak begitu. Mendisiplinkan anak justru perlu meminimalisir hukuman. Bahkan kalau bisa jangan gunakan hukuman sama sekali. Ini hubungannya dengan bagaimana menanamkan motivasi intrinsik dalam diri anak. Jika anak bersalah lalu dihukum, dia akan berhenti melakukan kesalahan karena takut dihukum. Tentu tidak ada yang salah di sini. Namun, motivasi dia adalah untuk menghindari hukuman, bukan motivasi intrinsik yang diharapkan. Lalu bagaimana cara mendisiplinkan anak yang motivasinya intrinsik atau berasal dari diri dalam anak sendiri?
SMP Negeri Satu Atap 1 Sembalun |
Setelah mempelajari modul ini, saya berusaha untuk mengurangi marah atau memberi hukuman pada murid yang bersalah. Sebandel atau sebodoh apapun seorang murid, dia itu dilahirkan sempurna. Begitulah Tuhan menciptakan seorang anak. Itu yang coba senantiasa saya tanamkan dalam diri saya setiap kali menghadapi murid yang bermasalah. Tidak ada anak yang salah. Tidak ada anak yang nakal. Tidak ada anak yang bodoh. Semua memiliki sifat dan keunikan masing-masing yang sudah merupakan ketentuan Tuhan. Kita sebagai guru tak bisa mengubah kodrat mereka. Kita hanya ditugaskan untuk mendampingi proses belajar mereka tanpa perlu memaksakan apapun. Begitulah kira-kira yang saya petik dari pelajaran yang diberikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.
Kini saya betul-betul melihat
dan merasakan hasilnya. Saya merasa murid-murid saya lebih bisa menerima saya.
Senyum bahagia mereka tak berhenti saat saya masuk ke ruang kelas. Mereka
senang dan menantikan kehadiran saya. Seperti tak ada sekat di antara murid dan
saya sebagai gurunya. Mereka bisa tertawa lepas. Tak ada lagi rasa takut. Entah
itu yang dulunya takut pada gurunya atau takut pada mata pelajarannya. Dengan
begitu, saya pikir apapun yang saya ajarkan pada mereka akan lebih bisa mereka
terima. Bukan sekedar masuk telinga kiri keluar telinga kanan, tapi mereka akan
mengenang apapun yang mereka alami dengan gurunya. Saya percaya bahwa apa yang
dikatakan atau dicontohkan oleh guru yang dipercaya dan diidolakan, akan bisa
tertanam dengan baik dalam diri murid.
Lombok Timur, 10 Februari 2022
CGP Angkatan 4, FIRDAUS LAILI, S.Pd.