![]() |
Desa Long Pada, Malinau |
Long Pada adalah sebuah desa kecil di
mana aku bertugas sebagai SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan,
Tertinggal, dan Terluar). Desa ini bukan lagi layak disebut sebagai daerah 3T,
tapi lebih dari layak. Terletak di Kecamatan Sungai Tubu, Kabupaten Malinau,
Provinsi Kalimantan Utara, desa yang berada di pedalaman Kalimantan ini hanya
berpenghuni sekitar 150 jiwa dan hanya ada sekitar 20 rumah. Semua warga desa
ini adalah suku Dayak Punan yang menganut agama Kristen Protestan. Mereka masih
mengandalkan alam untuk bertahan hidup. Setiap harinya, mereka hanya berburu
dan berladang untuk dikonsumsi sendiri. Buruan utama mereka adalah babi hutan,
sedangkan yang mereka tanam di ladang kebanyakan adalah singkong. Setiap ada
pemburu yang mendapatkan babi hutan, warga boleh meminta daging babi hutan
kepada pemburu; itulah cara mereka berbagi. Hampir setiap hari, warga di sini makan daging babi dan daun singkong.
![]() |
Ketinting |
Dari
segi kompetensi dalam belajar, siswa-siswa kami di sini jauh berbeda dengan
anak-anak sekolah di Jawa. Siswa SMA kelas X di sini mungkin tidak lebih pandai
dari siswa SD kelas VI di Jawa. Sebagai gambaran, untuk mata pelajaran Bahasa
Inggris misalnya, kami masih harus mengajari siswa-siswa kami kosa kata mudah
yang seharusnya dipelajari di bangku SD. Untuk mata pelajaran Matematika,
mereka masih harus belajar berhitung seperti perkalian dan pembagian.
Kemungkinan pertama penyebab rendahnya kemampuan belajar mereka adalah pondasi yang lemah, artinya mereka
tidak mendapat pembelajaran yang cukup dan layak ketika di bangku SD.
Kemungkinan kedua adalah kurangnya asupan gizi yang mereka makan. Jangankan
gizi yang tercukupi, untuk makan saja banyak di antara mereka yang mengalami kesulitan.
Kami sempat beberapa kali berbagi beras dengan beberapa siswa kami ketika
mereka sudah beberapa hari tidak makan. Makan sehari satu kali sudah biasa bagi
mereka, itupun biasanya hanya nasi dan daun singkong.
Perbedaan
siswa-siswa kami di sini dengan anak-anak di Jawa tidak hanya dari segi
kemampuan dalam belajar, tapi juga dalam hal-hal lain seperti kehidupan
sehari-hari mereka. Jika anak-anak di Jawa sudah dijejali dengan kemajuan
teknologi dan informasi, siswa-siswa kami di sini masih akrab dengan alam
sekitar yang berupa hutan belantara. Menyusuri gelapnya hutan dan menyeberangi
derasnya sungai sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Tidak masuk sekolah
juga menjadi hal yang biasa bagi mereka dan kami lebih sering memaklumi hal itu
karena alasan mereka adalah berburu ke hutan untuk bertahan hidup. Mereka
sering berangkat berburu sekitar pukul 9 malam dengan membawa senapan angin,
parang, dan lampu baterai. Gelapnya hutan tidak menyurutkan niat mereka untuk
berburu karena itu adalah cara mereka untuk bertahan hidup. Jika berburu di
siang hari, senjata berburu mereka adalah anjing, parang, anjat, dan bujak.
Anjat adalah sejenis wadah yang terbuat dari rotan yang digunakan untuk membawa
hasil buruan, sedangkan Bujak adalah sejenis tombak tapi dilengkapi dengan
sumpit. Babi hutan adalah hasil buruan bagi mereka yang sudah jago dalam
berburu, namun bagi sebagian besar siswa kami yang masih anak-anak dan remaja,
hasil buruan untuk mereka makan biasanya adalah kodok atau kancil. Kodok-kodok
yang mereka tangkap lebih besar dari kodok-kodok yang ada di Jawa. Ukuran kodok
yang hidup di hutan Kalimantan bisa mencapai seukuran kelinci dewasa.
Tidak
semua siswa kami berasal dari Desa Long Pada. Banyak di antara mereka berasal
dari desa lain. Ada yang berasal dari desa yang harus berjalan kaki selama satu
hari untuk bisa sampai di Desa Long Pada; nama desanya adalah Long Nyau.
Bahkan, ada desa yang harus berjalan kaki selama tiga hari dua malam untuk bisa
tembus Desa Long Pada, nama desanya adalah Long Titi. Selama di perjalanan,
mereka harus melewati hutan, perbukitan, dan menyusuri sungai. Jika malam tiba,
mereka bermalam di hutan dengan membuat tenda. Itu saja mereka masih harus
membawa bahan makanan seperti beras untuk bekal mereka selama di perjalanan dan
untuk bertahan hidup selama di Desa Long Pada. Itu semua mereka lakukan demi
bisa melanjutkan sekolah karena di desa mereka belum ada SMP dan SMA.
Walaupun
siswa kami di sini hampir semuanya berkompetensi belajar relatif rendah, masih
polos, dan bisa dibilang tidak tahu apa-apa, sebagian dari mereka masih
memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Itulah yang menjadi semangat kami
untuk mengajar dan mendidik di sini. Kami lebih banyak memberi mereka motivasi
dan mengajarkan arti pentingnya sebuah mimpi untuk masa depan mereka karena
kebanyakan dari mereka masih ragu untuk mewujudkan sebuah mimpi menjadi
kenyataan, keluar dari kehidupan mereka saat ini dan mendapatkan pendidikan
tinggi serta kehidupan yang layak. Mereka seolah masih pasrah dengan nasib mereka
hidup di tengah hutan rimba dan jauh dari perkembangan jaman.
SM-3T
membuka mata kami bahwa ternyata di balik gemerlap modernisasi di Pulau Jawa,
masih banyak masyarakat dan anak sekolah yang terisolir dan jauh tertinggal
seperti di Desa Long Pada. Pembangunan di bidang pendidikan masih jauh dari
merata. Walaupun mungkin belum bisa memberikan perubahan besar terhadap
pendidikan di Indonesia, paling tidak SM-3T memberikan kami kesempatan untuk
berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk negeri ini.
Firdaus Laili, S.Pd.
SM-3T
UNY III
Desa
Long Pada, Kabupaten Malinau
Assalamualaykum mas Firdaus,
BalasHapusSaya Bela, ingin bertanya2 soal desa Longpada karena ada teman saya yang akan ditempatkan disana untuk program pemerintah tetapi blm banyak info soal desa tsb. boleh saya minta kontak mas untuk dpt bertanya2 lebih jauh? Akan sangat membantu bila diizinkan.
Walaikumsalam, mb Bela. Boleh. Ini nmr WhatsApp saya 0822 5514 8840
BalasHapusDisna untk skrg udh ada signalkh
BalasHapusDisna untk skrg udh ada signalkh
BalasHapus